Berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …”
merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan perbuatan hukum tertentu seperti transaksi jual beli secara elektronik. Indonesia merupakan negara hukum sehingga setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945, disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum diadakan yang beru menurut undang-undang dasar ini. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia masih tetap berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan peraturan perundang-undangan lainnya apabila ketentuan termaksud memang belum diubah atau dibuat yang baru.
Berbicara menganai transaksi jual beli secara elektronik, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :
• Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
• Kecakapan para pihak dalam perjanjian
• Suatu hal tertentu
• Suatu sebab yang halal
Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan.
Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara berhadapan langsung antara penjual dengan pembeli, tetapi juga dapat dilakukan secara terpisah antara penjual dan pembeli, sehingga mereka tidak berhadapan langsung, melainkan transaksi dilakukan melalui media internet/secara elektronik.
Dalam kontrak jual beli para pelaku yang terkait didalamnya yaitu penjual atau pelaku usaha dan pembeli yang berkedudukan sebagai konsumen memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur mengenai kewajiban-kewajiban pelaku usaha
Contoh Umum Jual Beli Di Indonesia :
• Seorang pembeli (A) dalam suatu ikatan jual-beli rumah, baru membayar 30% harga rumah yang dibelinya. Kemudian tanpa setahu pemilik rumah, maka si pembeli (A) mengambil sertifikat tanah HGB rumah tersebut yang sedang disimpan oleh pemiliknya di Kantor Notaris sebagai persiapan pembuatan Akta PPAT jual-beli rumah, bila sisa harga telah dibayar lunas oleh pembeli (A). Pembeli rumah tersebut (A) setelah menguasai sertifikat rumah tersebut, kemudian menawarkan rumah tersebut kepada pihak ketiga dengan harga jauh lebih tinggi dari pada harga yang dibelinya. Pihak ketiga sepakat membeli rumah tersebut dari pembeli semula (A) dengan harga tinggi. Namun setelah pihak ketiga mengetahui sertifikat tanah masih atas nama orang lain, maka pihak ketiga membatalkan niatnya membeli rumah tersebut dari si A.
• Perbuatan pembeli rumah (A) yang diuraikan diatas, ditinjau dari segi juridis, bukan merupakan permasalahan dalam ruang lingkup hubungan hukum keperdataan, melainkan termasuk dalam jaring hukum pidana yaitu perbuatan pidana ex pasal 372 KUHP.
• Karena seluruh unsur pasal 372 KUHP telah terpenuhi, maka telah terbukti dengan sah dan meyakinkan terdakwa bersalah melakukan kejahatan “penggelapan”, pasal 372 KUHP, Dakwaan Subsidair.
• Pasal 372 KUHP memiliki beberapa unsur:
1. Barang siapa
2. Dengan sengaja memiliki dengan melawan
3. Sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain.
4. Barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan.